26 March 2010

BUMN Dituntut Efisien


JAKARTA - Manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor infrastruktur dituntut lebih efisien agar mampu meningkatkan daya saing industri. Sebab, kalangan pengusaha masih banyak mengeluhkan rendahnya pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Pendapat tersebut diungkapkan Komisaris Utama PT Telkom Tbk, Tanri Abeng, dalam diskusi Reform, Infrastructure, and Innovation in Indonesias Industries, di acara Indonesia Summit 2010, di Jakarta, Kamis (25/3).

Menurut mantan menteri negara BUMN ini, sejak Kementerian BUMN dibentuk pada 1998 untuk mengelola 158 perusahaan, pengelolaan BUMN belum efisien. Namun, dia memandang masih ada beberapa yang meningkat prestasi kinerjanya.

"Laba seluruh BUMN pada 2009 hanya tujuh miliar dolar AS (sekitar Rp 66 triliun). Padahal, Malaysia bisa mendapatkan 20 miliar dolar AS dari Petronas (BUMN Migas) saja," ungkap Tanri. Tanri menyebutkan, tiga isu

utama infrastruktur Indonesia, yakni energi, transportasi, dan telekomunikasi. Pengelolaan ketiga sektor infrastruktur tersebut dipegang BUMN karena termasuk bidang strategis.

Menurutnya, jika ingin pengelolaan BUMN berjalan lebih efisien, pemerintah perlu menciptakan iklim persaingan. Dia mencontohkan perusahaannya (PT Telkom) yang memacu efisiensi pengelolaan karena dalam industrinya harus berkompetisi dengan swasta. "Telkom bisa berkontribusi 15 persen terhadap penerimaan pemerintah dari laba BUMN. Padahal, asetnya hanya lima persen dari yang dimiliki total 158 perusahaan tadi," bebernya.

Senada dengan Tanri, Dirut Caterpillar Asia. Kevin Thieneman, juga berpendapat inefisiensi sistem infrastruktur di Indonesia turut melemahkan daya saing industri. Selain itu, luasnya cakupan wilayah Indonesia juga menjadi isu tersendiri dalam pengelolaan infrastruktur selain inefisiensi. "Karenanya, peningkatan ketersediaan suplai energi menjadi krusial bagi Indonesia, menimbang kedua isu tadi," tuturnya.

Sementara itu, Menteri Perindustrian, MS Hidayat, menyadari kelemahan ni. Dia merasa prosedur pengelolaan BUMN yang ada sekarang terlalu birokratis dan politis. Di masa lalu, kata Hidayat, pertumbuhan di sektor infrastruktur justru muncul dari inisiatif pihak swasta. Misalnya, gagasan Infrastructure Summit pun selalu terkendala peraturan. "Saya sudah usulkan kepada Presiden agar melakukan terobosan, sehingga birokrasi menjadi lebih rasional," katanya.

Menurut Hidayat, saat ini pihaknya tengah berfokus pada tujuh prioritas penyelesaian masalah daya saing industri berbasis nilai tambah atau manufaktur. Di antaranya, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur utama dan pemenuhan kebutuhan listrik dan gas industri. "Saya punya program untuk merevitalisasi industri pupuk, pasokan gasnya harus terjamin agar bisa berhasil," tegasnya. eis, *i taky ah

Sumber :
Republika, 26 Maret 2010